Etika Bisnis Menurut Perspektif Islam


Di dunia ini, khususnya Indonesia, banyak sekali bisnis-bisnis atau usaha-usaha yang dilakukan manusia dalam kegiatan sehari-hari untuk memenuhui kebutuhannya. Namun, jika kita analisis dari semua bisnis-bisnis di Indonesia ini tidak semuanya memakai prinsip syari’ah dan sistem syari’ah. Ya memang, karena tidak semuanya
mereka beragama Islam. Kadang mereka yang beragama Islam pun belum tentu memakai prinsip-prinsip syari’ah. Syari’at sudah membuatnya sedemikian rupa mengenai ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam bermuamalah. Jika bisnis yang dipilih dalam bentuk investasi, maka pilihlah lembaga investasi yang berlandaskan syari’ah. Bentuk investasi seperti reksadana syari’ah, yaitu reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syari’ah Islam, baik dalam bentuk akad kerjasama antara pemodal sebagai pemilik harta (shahibul maal) dengan manajer investasi sebagai wakil pemilik harta. Jika bisnis yang dipilih yaitu bentuk bisnis yang menggunakan tenaga kita sendiri, misalnya jual beli, maka kita sebagai pelaku dalam jual beli itu harus mengetahui dan paham akan etika-etika jual beli dalam Islam.

Dalam jual beli, antara penjual dan pembeli itu harus saling ridha (‘an taradin), misalnya ada kecacatan pada barang maka pihak penjual itu harus menginformasikannya kepada pembeli, walaupun itu cacatnya sedikit, supaya untuk menghindari yang namanya tadlis. Tadlis, yaitu menipu atau menutup-nutupi keburukan dalam barang yang diperjual belikan. Penjual tidak boleh menggunakan dua harga dalam melakukan jual beli, karena jika ada dua harga, maka itu sama saja dengan riba. Dua harga tersebut maksudnya antara harga kredit dan harga tunai, kedua harga tersebut berbeda. Biasanya harga kredit itu lebih tinggi harganya daripada harga tunai.

Dalam jual beli juga bisa melakukan khiyar, yaitu berhak memilih untuk meneruskan atau membatalkan transaksi dalam jual beli. Penjual tidak boleh menjual barang-barangnya yang berbau keharaman, seperti memperjual belikan daging babi. Penjual tidak boleh melakukan ikhtikar, yaitu penimbunan barang. Barang yang diperjual belikan itu haruslah jelas, supaya terhindar dari gharar (ketidakjelasan), seperti menjual buah yang masih dipohonnya itu merupakan jual beli gharar, karena kita itu tidak tahu bahwa buahnya itu bagus atau tidaknya. Akad dalam jual beli juga harus jelas, yakni jelas rukun dan syaratnya. Masih banyak sekali orang-orang Islam yang melakukan jual beli, tapi mereka tidak paham akan etika bisnis dalam Islam itu. Oleh karena itu, pelajarilah terlebih dahulu tentang tatakrama dalam jual beli. Bagi masyarakat awam yang tidak mengetahui sama sekali tentang etika bisnis dalam Islam, maka itu adalah tugas kita sebagai mahasiswa yakni sebagai Agent Of Change untuk memahamkan mereka.

Referensi Bacaan : Dwi Suwiknyo, Kamus Lengkap Ekonomi Islam, (Jakarta : Total Media, 2009).

Penulis: Emah Septiani Raharjo

Posting Komentar